Meneladani Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail
Meneladani Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail HIDUP DALAM KONTEKSSYARI’AT ISLAMOleh : H. M. Mansyur(Direktur Kerjasama dan Pengembangan Nurmilad Boarding School)
Pendahuluan
- Kisah Nabi Ibrahim, Nabi Ismail penuh makna artinya satu sisi, Nabi Ibrahim harus melaksanakan perintah Allah, pada sisi lain, menjalankan perintah dengan harus mengurbankan putranya sendiri, Ismail, ini semua didasari oleh suatu keyakinan, ketauhida yang kuat sebagai wujud ketakwaan, (Surat al Shaffat ayat 102-109)
- Kedudukan, jabatan, pangkat, kekayaan yang kita miliki, yang kita senangi, yang kita sayangi yang kita pertahankan dalam hidup ini pada hakekatnya adalah Ismail artinya Allah tidak menyuruh Nabi Ibrahim membunuh Nabi Ismail, tetapi Allah hanya meminta membunuh “rasa memiliki” Ismail, karena pada hakekatnya semuanya itu adalah milik Allah
- Manusia pada asalnya adalah bodoh, dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun. Allah SWT berfirman “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun. Dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 78)
Syari’at Islam
Agar manusia tetap dalam posisi bersyukur, maka perlu mendapat bimbingan yang berupa aturan tingkah laku, sikap hidup dan inilah yang disebut syari’at. Secara bahasa (etimologi) berarti jalan yang lurus, bisa berarti juga sumber air yang mengalir. Sedang secara terminology adalah ketentuan yang telah ditetapkan Allah untuk hambanya dengan perantara Rasul-Nyaagar diamalkan dengan penuh ke-imanan, baik yang terkait dengan akidah, amaliah maupun akhlak. Pemahaman syariat ini bisa dalam arti luas, yang mencakup seluruh ajaran Islam, meliputi aspek aqidah, syari’at (dalam arti sempit, ibadah dan muamalah) dan akhlak. Syari’at dalam arti sempit yang mengatur hubungan dengan Allah (ibadah) dan hubungan manusia dengan manusia/selain Allah. Dengan Allah inilah yang disebut Ibadah khos atau magfhdhoh dan dengan manusia disebut ghoiru maghdho atau umum.
Dengan Syariat itulah sebagai arah dalam mewujudkan amanah Allah AWT, tentu harus dibarengi dengan kemampuan memahami syariat itu dengan ilmu;
Hidup dalam Kontek Syariat Islam, dengan meneladani Nabi Ibrahim, Nabi Ismail
Syari’at dalam arti sempit adalah yang mengatur hubungan dengan Allah (ibadah) dan hubungan manusia dengan manusia/selain Allah. Dengan Allah inilah yang disebut Ibadah khos atau magfhdhoh dan dengan manusia disebut ghoiru maghdho atau umum.
Ibadah secara bahasa adalah tunduk atau merendahkan diri. Sedangkan secara istilah atau syara’, ibadah merupakan suatu ketaatan yang dilakukan dan dilaksanakan sesuai perintah-Nya,
Ibadah dibagi dalam 2 (dua) jenis
Ibadah Mahdhah artinya penghambaan yang murni hanya merupakan hubung an antara hamba dengan Allah secara langsung, dengan prinsip
- Sesuai dengan perintah Allah, dibuktikan dengan adanya dalil;
- Sesuai dengan yang dicontohkan Rasul SAW;
- Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
- Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi:
Ibadah Ghairu Mahdhah yaitu ibadah yang di samping sebagai hubungan hamba dengan Allah juga merupakan hubungan atau interaksi antara hamba dengan makhluk lainnya, dengan prinsip;.
- Keberadaannya, sepanjang tidak adanya dalil yang melarang.
- Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul;
- Bersifat rasional, sesuai dengan akal atau logika;
- Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan
Fiqih
Istilah yang terkait dengan syari’at adalah fiqih.Dalam Bahasa Arab Al fiqh, secara etimologi/bahasa sama dengan al-fahmu artinya faham atau mengerti.
Secara terminologi adalah Ilmu tentang hukum-hukum syari’at, yang dihasilkan dengan cara/metodologi “ijtihad” yaitu mencurahkan akal fikiran dengan sungguh-sungguh (optimal) ungtuk menemukan hukum-hukum melalui pemahaman, penafsiran terhadap ketentuan syarak, baik eksplisit maupun implisist.
Pada zaman Rasulullah, sahabat dan tabi’in, fiqih ini difahami sebagai “tafaqquh fiddin”, menyangkut seluruh ajaran agama Islam, meliputi aqidah, syari’at (ibadah dan muamalah) dan akhlaq. Zaman Imam Mazab Fiqih, secara perlahan fiqih berkonsentrasi khusus bidang hokum perbuatan manusia. Dengan demikian fiqih dan syari’at sangat erat, namun perbedaan karakteristiknya nampak sekali, sehingga perlu pemahaman bahwa fiqih itu tidak sama dengan atau identik dengan syari’at.
Kesholehan dan Keikhlasan Nabi Ibrahim, Nabi Ismail
Kesholehan Kata saleh dalam Al Qur’an selalu diulang, ini menunjukkan sebagai suatu indikator keimanan seseorang. Jadi antara Iman dan amal saleh satu kesatuan yang utuh yang tidak bisa dipisahkan, satu sama lain saling melengkapi, saling menyempurnakan. Sebagai Indikator keimanan seseorang tentunya harus merujuk kepada ketentuan Allah SWT yaitu syari’at Islam
Kisah perjalananan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail adalah kisah yang sarat makna ketauhidan, yang ditunjukkan dalam wujud ketaatan dan keyakinan yang luar biasa terhadap perintah Allah artinya Nabi Ibrahim bersungguh sungguh dalam menjalankan perintah Allah untuk penyembelih anaknya sendiri yang didapatnya lewat mimpi. Perintah ini juga sangat diyakini kebenarannya oleh putranya Nabi Ismail yang dengan ikhlas menjalankan perintah Allah tanpa banyak bertanya kenapa mereka harus menjalankan perintah tersebut. Inilah makna ketauhidan yang terefleksi dalam bentuk ketaqwaan.
Keikhlasan berkurban pada hakekatnya adalah mengajarkan manusia tentang keikhlasan dengan mengorbankan harta yang dimilikinya, sekaligus kita berbagi dengan orang lain dan atau dengan orang yang kurang mampu. Disinilah akan terbentuk yang sering kita dengar kita sebut dengan kesalehan individual dan kesalehan sosial adalah dua hal yang harus dapat berjalan seiring dan tidak terpisahkan. Kesalehan individual inilah yang disebut dengan Ibadah Maghdhoh/khos terkait dengan hablum-minaallah. Kesalehan sosial yang disebut dengan hablum-minannas “Ibadah Ghoiru Maghdhoh”. Dimensi sosial dari penyembelihan hewan kemudian dibagi-bagikan kepada sesama juga selaras dengan makna kurban sendiri, yakni pendekatan. Kurban yang dikaitkan dengan pembagian daging berarti mendekatkan dengan orang lain, mengeratkan ikatan persaudaraan, serta menumbuhkan perasaan empati dan kasih sayang. Jadi keikhlasan beramal inilah sesungguhnya untuk mendapat ridha Allah dalam ibadah kurban.
“Meneguhkan ketakwaan, kesalehan spiritual dan keikhlasan menjadi pelajaran penting yang bisa kita dipetik dari kisah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS.
Bojonegoro, 16 Juli 2021
Tidak ada komentar
Posting Komentar